Membayang Bayangan
Lagi-lagi...hari ini aku hanya bisa berbincang dengan bayangmu, lewat telepati yang hanya bisa di mengerti oleh hati. Ingin aku berbicara secara manusiawi, menggunakan indra pengecap yang telah diciptakan dengan sempurna ini. Bukan karena aku bisu, bukan pula karena engkau tuli. Tapi setiap bertemu bayangmu saja pun bibirku otomatis kelu, tercekat, sesak.
Kamu selalu hadir di hadapanku selama 50 jam tiap minggunya, tapi aku hanya mampu melihat dirimu dalam mode monokrom, aku tak sanggup melihat rupamu, takut, aku menjadi buta. Melihat bayanganmu saja jam tidurku terganggu, jam istirahatku terusik, hanya karena otakku tak bisa berhenti memikirkanmu.
Pernah suatu hari kau menyapaku, tidak seberapa, hanya menanyakan kerjaan apa yang belum ku selesaikan. Bagaikan disambar petir di siang bolong, atau disengat lebah ketika sedang terlelap tidur. Jantungku berdegup lebih cepat seperti ada rombongan grup marawis sedang konser. Tanpa ku berani tatap wajahnya, aku berusaha mengeluarkan nada terendah dari tenggorokanku, bass. "Tidak ada mbak". Terdengar cuek. Seketika tububnya berbalik. "Aargh... kenapa begini" batinku.
Suatu pagi, aku datang lebih pagi, dan baru ada aku di tempat kerja. Lima menit kemudian terdengar ketukan kaki meski tak terdengar nyaring. Ya, aku tahu langkah kakinya tidak pernah bersuara.
"Krieeet..." berbarengan dengan suara pintu terbuka itu, jantungku mulai bergemuruh, hatiku berusaha menyusun kalimat. Hanya kalimat sapaan. Tapi lidah ini benar-benar kelu, tiba-tiba saja lidahku berubah seperti bertulang, tidak bisa digerakkan.
"Assalaamu'alaikum, pagi mas" sapanya.
Bukannya menjawab, seperti aku bilang tadi. Akhirnya hanya senyuman yang bisa aku lontarkan sambil menganggukkan dagu tanda aku menghiraukannya. Dan baiknya, dia tidak pernah marah atau komentar apapun tentang sikapku.
***
Pertama aku melihatnya, saat dia dialihkan pekerjaannya ke ruangan yang sama dengan yang aku duduki. Tanpa sengaja saat direktur memperkenalkannya, aku sedikit menoleh, namun bayangannya sampai saat ini selalu tergambar di pelupuk mata.
Balutan baju panjang sampai menutup sebagian sepatunya, lebar, tanpa lekuk. Jari tangannya hanya terlihat sebagian. Kerudung yang lebar menutup hingga pahanya. Dan wajahnya, wajahnya ? Tidak, aku tidak berani melihat wajahnya. Aku segera tersadar, aku sudah kelewatan.
Dari suaranya saja aku sudah bisa menggambar sketsa wajahnya. Tidak nyaring, tidak juga mendayu-dayu. Auranya sudah kurasakan ada yang spesial.
Baru ku temui manusia yang selalu memakai hati dalam setiap urusannya ini se sempurna ini dalam pandangan imanku di kota semetropolitan ini. Dari sinilah aku mulai memperhatikannya, tepatnya hanya bayangannya.
***
Aku termasuk pria cuek, bukan karena antisosial. Aku hanya menjaga jarak agar tidak ada makhluk yang sangat dihormati dalam agamaku menjadi korban mulut manis yang disebut dengan mulut buaya. Dan aku tidak mau disebut buaya.
Termasuk dalam mengagumi wanita, padanya, aku hanya bisa memperhatikan bayangannya.
Grup chat. Aku lihat kontaknya, tidak ada gambar. Aku simpan kontaknya, kulihat muncul sw ketika aku gulirkan halaman aplikasi chat itu. Aku tidak menyangka kontak ku sudah disimpannya. Setiap hari, minggu, sampai hampir 3 bulan, tidak pernah satupun melihat di me-ngepost wajahnya, tubuhnya, bahkan seujung pakaiannya. Aku semakin yakin dengan hilalku. Ada rasa bersyukur dengan melihat sikapnya yang menjaga iffah. Tapi ketika syaiton berhasil mengambil celah, aku merasa menyayangkan karena tidak bisa menatap wajahnya meski hanya dalam gambar.
Tidak, bukan seperti ini ciri lelaki jantan. Kamu hanya bisa melihat wajahnya jika kamu benar-benar memiliki niat mengikatnya. Atau kamu hanya bisa melihat wajahnya lamat-lamat ketika dia sudah berlepas dari tanggung jawab ayahnya. Dan aku punya niatan itu. Namun saat ini, hatiku belum memiliki tekad yang kuat meskipun hanya berbicara denganmu.
Setiap hari, hanya bayanganmu, selalu bayanganmu yang aku ikuti. Bayanganmu yang diajak bicara tanpa harus aku menggerakkan lidahku. Bayanganmu yang aku perhatikan memakai pakaian yang sama setiap harinya, entah warna apa, yang kulihat hanya hitam.
Kepalaku selalu menatap lantai, bukan karena aku tidak peduli sekitar, termasuk padamu. Aku memang hanya bis melihatmu lewat bayangan hitammu di bawah sinar lampu, dibawah sinar matahari, dibawah sinar rembulan, rembulan ? Tapi aku belum pernah melihat bayanganmu dibawah sinar rembulan.
Semoga suatu saat nanti dibawah sinar rembulan, saat pangkal jari manismu sudah kusematkan lingkaran berharga dihari teristimewa, cahaya tanggal 14 itu memberikan dua bayangan yang bisa kita lihat bersama, di tempat yang sama dengan wujud yang nyata yang berhasil dipantulkan sinar purnama diatas kepala dan harapan kita.
Semoga, suatu saat nanti, aku tidak hanya membayangkan bayanganmu saja.
***
#Anonim An
Coba komentar
BalasHapus